Pemerkosa Kesadaran: Iklan dan Kultur Konsumsi di masyarakat dalam praktik hegemoni Kapitalis

Iklan cara memasarkan produk, sekaligus melemparkan konstruksi paksa pikiran jual-beli.

Pada pertengahan agustus 2024, platform musik berbasis daring, Soundcloud, memutuskan untuk mengadakan fitur (anti-fitur, lebih tepatnya) iklan yang ada ketika setiap berpindah musik. Tentu, pendekatan ini menjadi cara mereka untuk mendapat keuntungan dari kuantitas pengguna yang besar sekaligus mengorbankan kenyamanaan.

Fenomena ini bernama enshitfication1 dan terjadi di platform digital lain, seperti X (Twitter), Facebook, Youtube, TikTok serta juga media-media berita lokal – yang tak jarang membunuh berita dan menguburkannya ditumpukan iklan. Seolah iklan menjadi raja hasil kudeta dari istilah “Konten adalah Raja”, seperti Cicero yang dikudeta oleh Cantilius, untuk idealisme pasar bebas dan keuntungan.

Iklan : Alat Hegemoni

Dari sudut pandang keilmuan bisnis, Iklan merupakan manuver untuk mengenalkan produk agar dikenal dan mendatangkan peminat produk tersebut alias pembeli. Ini jawaban yang ditunjuk oleh dosen saya saat kuliah kenapa orang butuh iklan, padahal saya bukan orang yang kuliah bertautan langsung dengan bisnis, jawaban itu melekat dan benar melahirkan tulisan ini. Terima kasih, pak Windi Gambetta atas ilmunya.

Kita sudah dapatkan raison d’etre tentang iklan. Lalu bagaimana iklan menjadi alat hegemoni? ketika Iklan menjadi suatu yang dipaksakan sehingga taken for granted.

Sesuai dengan tujuanya mendatangkan peminat, pendekatan yang dilakukan oleh iklan adalah melalui sugesti dan presuasi, layaknya propaganda. Di korea utara, poster propaganda dipajang di setiap lorong kepagawaian, untuk memberi sugesti kejayaan dan kebangaan atas negara dan ideologi mereka. Iklan-iklan televisi disana untuk mengondisikan warganya untuk melihat propaganda ini, sama-sama mengondisikan masyarakat untuk tunduk pada keinginan penguasa.

Jelas propaganda kebesaran Korea Utara berbeda dengan iklan-iklan di televisi ataupun platform digital kita. Alih-alih menyuarakan grandiosa ideologi, ia lebih merayu (memerintah secara halus) untuk bertindak, seperti “Beli sekarang! dapat diskon”, “Makan ini! bikin awet muda”, “Uang kamu worth it buat ini”, “Pencet keranjang kuningnya sekarang kakak!” dan sebagainya untuk melahirkannya transaksi jual-beli.

They Alive New York Square Advertisment hell

Sumber: Universal Pictures

Nostalgia dengan film ‘They Live!’ (1989) yang menunjukan bahwa manusia dikontrol oleh makhluk luar angkasa dengan memanfaatkan sifat konsumsi manusia untuk mengendalikan mereka yang terjadi tanpa disadari mayoritas masyarakat. Salah satu senjata mereka adalah Iklan, tetapi mereka di tentang oleh sekte tertentu yang menemukan kacamata ajaib untuk melihat segudang tipuan mereka, kacamata itu adalah tulisan ini.

Sebaiknya kamu sekarang coba cari iklan yang sedang tayang, entah itu di Televisi, Koran, Youtube atau TikTok, kemudian coba telahaan intensi dari apa yang mereka sampaikan dan mengapa melakukan itu. Mungkin tidak semegah flexing rudal pemusnah masal yang dibanggakan Korut, namun meracuni kita untuk ingin memiliki produknya sehingga mereka berhasil membuat kita berkata “Ih, ini kayaknya bagus deh, jadi pengen” begitu hingga dompet menjadi musim kemarau di awal bulan.

Amit-amit jangan sampai terjerat pinjol. Ironisnya lini bisnis marketplace/toko online sekarang juga dilengkapi fitur meminjam mudah dengan persetan aturan kredit (background check peminjam layaknya bank misalnya). Tiba-tiba serupa dengan slot, dimudahkan mengambil uang begitu juga menghabiskanya dari kamu yang berjuang, siang dan malam, mengejar mimpi semu berupa kebutuhan buatan ciptaan kapitalisme. Sekaligus kamu adalah buah matang parameter kesuksesan mereka, mereka yang menciptakan mimpi semu yang kamu kejar seolah dagangan donat mereka laku habis, konsumi dan profit tanpa akhir.

Polusi Ruang

“Bagaimana agar Iklan dapat dilihat oleh orang banyak?” jawabanya “menjadikanya pusat perhatian”.

Ini alasan mengapa baliho, banner dan poster iklan banyak diletakan di tempat yang menganggu pemandangan atau dengan bahasa marketing “strategis dan mudah dilihat”.

Ketika pemilihan kepala daerah atau pejabat sejenisnya, bendara partai dan poto kandidatnya mewarnai jalan, paling tidak memberi sedikit kesegaran di antara hitam jalan yang baru diaspal atau tanah merah yang basah setelah hujan – sehingga ketika ada kendaraan slip di sana, atribut iklan akan menonton mereka mendorong mobil.

Ketika perusahaan merilis produk, jasa atau promo baru, tidak hanya baliho di jalan tetapi ikut menyusup ke dalam televisi, sela-sela gulir umpan sosial media, jeda iklan platform video dan iklan dalam aplikasi, seolah tidak ada layar tanpa iklan.

Iklan dalam dunia digital masih punya rasa ampun untuk menyingkirkan iklan dengan menjadi langganan, menjernihkan perhatian kita ke konten atau lebih konkritnya menjual ruang perhatian kita. Lho, kok ada kaitanya dengan perhatian kita ke konten alias atensi ? sekedar untuk melihat iklan lalu digulir sekadar lewat? ini akan dibahas nanti.

Selama iklan ini tidak menganggu dan menghormati kehendak saya untuk tidak melihatnya itu tidaklah masalah. Tetapi bisakan mereka meskipun menghormati aturan itu tetap menimbulkan masalah bagi saya?

Pengondisian Psikologis

Mindless shopping, mungkin dibilang, setan yang merasuki saya. Dari setan ini juga saya kenal saudaranya lalu mengerti kenapa ada yang bilang shopping sebagai healing alias rasa senang irasional dari membeli barang, binge shopping.

Kala itu saya depresi karena kuliah saya berantakan, saya melipur lara diri dengan membenamkan diri kedalam kultur virtual youtuber. Atensi dari chat dan interaksi yang disediakan sejenak mengusir keterpurukan saya, ibarat secangkir kopi pengusir kantuk. Tapi dengan bayarakan yang tidak main-main.

Banyak hal yang memengaruhi saya saat itu mulai dari keinginan untuk memberikan donasi, membeli merch bahkan untuk membuat komposisi musik untuk sang Idol virtual youtuber sebagai bentuk dukungan agar dinotis olehnya. Ini juga didorong oleh lingkungan fans yang aktif melakukan hal demikian, sehingga saya mengalami tekanan sejawat untuk melakukan serupa dan merasa itu hal yang lumrah.

Apakah saya bisa dibilang gila untuk membeli piano dengan sisa tabungan saya tanpa pikir panjang ? Tentu, itu terjadi ketika saya bangun dari tidur pagi, tanpa banyak pikir, impulsif, saya pilih yang besar, cek out ke keranjang dan bayar. Akhirnya piano itu sampai, namun itu tidak terpakai lagi setelah tiga percobaan hingga sekarang. Tabungan hasil magang pun habis dalam sehari untuk membeli barang yang sesungguhnya tidak saya butuhkan. Saya sematanya berpikir untuk dinotis sang Idol.

Disklaimer, saya tidak menyalahkan kultur Idol, meskipun tidak menghindari kenyataan mereka punya potensi pemasaran interaktif yang canggih dan berdampak – sejauh ini yang saya tahu terbatas untuk kultur tertentu: wibu geming, otaku dan gen z ke depan. “Punya potensi rantai pertukaran ekonomi”.

Cukup komplek, biar saya jelaskan. Ada dua fenomena diatas pertama parasocial – ini kenapa fans dan idol merasa seolah dekat tapi mereka sebenarnya tidak tergapai, lalu setan yang merasuki saya.Lalu, apa masalahnya dengan Iklan ? Mari kita kunjungi lagi kata “Perhatian” untuk mendulang jawaban, karena kedua fenomena itu mengunakan kata itu sebagai sumber dayanya.

Apa yang terjadi jika kamu membeli barang dengan percaya diri pada merek tertentu tanpa banyak pikir panjang? Jawabanya kamu percaya dengan brand itu dan brand itu memang men-nudge kamu.

Teori Nudge

Jika masalah saya diumpamakan sebatang pohon (Mindless Buying dan Parasocial), maka teori ini akarnya. Mindless buying bukanlah sesuatu yang terjadi secara semalam, ini adalah akumulasi dari perbuataan, seperti saya terjerat kesuraman parasocial, dari sekedar memberi komentar agar dinotis lama-kelamaan memberi sesuatu yang makin besar dan spesial.

Teori Nudge bisa menjelaskan dari mana saya mendapat perilaku ini. Saya berkenalan dengan ini setelah menonton film “The Social Dilema”. Film dokumenter itu membahas bagaimana teknologi begitu mencandu anak-anak muda dan memberikan dampak psikologis yang tidak main-main.

Teori ini menyebutkan pengambilan keputusan seseorang bisa dimanipulasi dengan memodifikasi lingkungan sekitar yang membawa pesan untuk pilihan tertentu agar memberikan kesan bahwa pilihan itu normal asali (default) kepada target2.

Misal saya menonton video dan mendapat Iklan minuman T, lalu saya pergi ke minimarket dan menotis ada minuman merek T sedangkan merek disebelahnya saya tidak terlalu peduli, ini hasil dari nudge. Jika proses ini diteruskan akan terbangun keakraban – seperti parasocial idol tadi, yang akhirnya membuat kita memilih minuman T.

Secara mindless, seolah tidak pilihan lain. Agak berlebihan kalau saya bilang kesadaran kita telah diperkosa oleh iklan, sebuah perilaku ditanamkan paksa ke batang otak kita tanpa disadari (sub-conscious influencing).

Sekarang kita bisa mengerti mengapa perhatian kita itu berharga bagi pengiklan, penguasa dan big tech. Ini juga berlaku untuk baliho pilkada dan beragam iklan serta informasi yang disodorkan ke kita.

For you information: data riwayat kamu di aplikasi big tech(social media, contohnya) itu adalah bentuk perhatian kamu dalam formalisasi data. Data apa yang kamu lihat? kapan nontonnya? dan sebagainya, untuk menyampaikan iklan yang lebih personal pilihan kamu ataupun menyocokan pengiklan untuk membuat iklan yang sesuai dengan personalia kamu.

Teori nudge ini mengambarkan betapa kuatnya perhatian kita bahkan digunakan untuk memanfaatkan kita (senjata makan tuan). Sekaligus menjawab kenapa ketengelaman saya dalam kultur virtual youtuber secara tidak langsung menjerumuskan saya menjadi mindless shopping . Algoritma dari aplikasi online shopping punya kemampuan nudge yang lebih kuat, sehingga virtual youture menjad pengiring seperti kurir penjemput domba ke rumah jagal daging.

“VTuber dapet duit dari donasi, merch dan brand deal. Kecuali masuk agensi mungkin dapet bulanan dan persenan dari donasi sama merch.” jawab Idol itu ketika ditanya oleh seorang penonton saat livestreaming perayaan dirinya setelah lolos masuk agensi yang sebelumnya seorang VTuber indie.

Perlu saya ingatkan, Teori nudge ini sangat luas aplikasinya tidak hanya untuk pengiklanan bahkan pepatah “Memimpin dengan contoh” bisa dibilang bentuk nudge itu sendiri. Maksud saya, aplikasi ini tidak secara bawaan jahat ataupun baik, kembali ke tujuan untuk baik atau jahat dan juga dari sudut pandang siapa.

Kebutuhan Semu

“Bagaimana kalau sebagian barang yang kita beli nyatanya tidak kita butuhkan ?”, saya pergi ke dapur lalu memeriksa lemari bawah di samping kompor, “Alamak, wajan ada lima masih bersih”, masih ada dua wajan lagi yang sedang nangkring dikompor berisi minyak bekas goreng ikan dan tumis kangkung.

Fenomena diatas adalah bentuk konsumsi berlebihan(overkonsumsi). Ibu saya punya tujuh wajan padahal tiga sudah lebih dari cukup. Tentu wajan itu multi guna bisa dipakai merebus, mengoreng, menumis dan mewadahkan masakan. Di sini ibu saya tidak buka restoran yang mungkin masuk akal untuk punya wajan sebanyak itu.

Lalu, sebab apa yang memunculkan overkonsumsi ? Mindless shopping tetapi itu bentuk lain overkonsumsi bukan sebabnya utamanya. Kamu mungkin setuju kalau iklan membuat kita mengenali barang/jasa, tetapi kenapa kita masih harus beli barang yang sama meskipun sudah ada? barangnya sudah rusak atau merasa yang ada tidak sesuai kebutuhan bisa diterima, tetapi jika diluar dua jawaban tadi lalu apa yang menjadi pendorong ?

Kembali ke teori nudge. Hal ini bentuk pengondisian yang membuat kita membeli barang/jasa terlepas dari sudah punya atau tidak. Iklan secara tidak langsung menciptaan permintaan buatan (artificial demand) – yang sudah hakikatnya melahirkan transaksi jual-beli.

Media sebagai tempat iklan turut menyebarkan imaji-imaji kebutuhan semu ini. Asal-muasal kebutuhan untuk jual-beli tidak lagi berdasarkan keperluan tubuh – kebutuhan rill individu, tetapi sudah terkondisi oleh pihak eksternal melalui pesan-pesan dari iklan yang bertebaran di media yang mengeser otonomi kita untuk menentukan kebutuhan ini.

Permintaan buatan ini mewujudkan dirinya (manifestasi) dalam bentuk budaya, akumulasi dari paparan iklan yang membuat kita merasa butuh ini dan itu yang ironisnya diluar kendali kita. Contohnya seperti pengkultusan (beda dengan percaya) merek brand tertentu ataupun membuat kompetisi balapan atas kepemilikan barang.

Contohnya pengkastaan brand tertentu, jika beli mobil merek A tidak selevel dengan mobil merek L tipe A. Memang secara fungsi lebih banyak dan berbeda, namun alasan apa yang membuat kita memandang orang lain lebih rendah hanya karena kendaraan mereka ? jelas mereka sama-sama butuh mobil yang memenuhi kebutuhan mereka. Ini menanamkan budaya dalam masyarakat untuk konsumsi atas nama gengsi.

Faktual memang jika ada mobil mahal lewat perlu diberi jalan karena kalau kita nabrak atau ga sengaja berurusan dengan mobilnya, maka ganti kerusakan mobilnya bikin ketar-ketir dompet. Dari sini timbul citra seolah mereka dihormati sehingga bertingkah arogan dijalan – yang umumnya dilakukan oleh pengedara mabuk minuman dan sembelit kekuasaan.

Selain gengsi, masih banyak lagi cara mereka membuat kebutuhan-kebutuhan yang ga kita terlalu butuhkan. Seperti membuat barang yang cepat rusak (planned obsolance) ataupun pembatas hak untuk memerbaiki (right to repair) yang mendorong konsumsi – yang lagi dipicu melalui iklan. Terus menerus, ini membentuk jaringan budaya konsumerisme.

Terkesan seperti mafia yang main peran bad cops good cops (bikin masalah sendiri terus jual solusi) hanya berbeda tanpa cara mafia yang bermain kekerasaan, tetap main cara manipulasi yang sama.

Manusia memang banyak maunya ini hal yang wajar, tetapi jika sudah diekploitasi dengan manipulasi media dan iklan maka tidak bisa disebut wajar, ini cuci otak massal!, dengan alasan pengondisian pasar untuk menciptakan masyarakat konsumen.

Karena masyarakat yang subsisten , adalah mimpi buruk bagi mereka, dan selalu bilang kalau “kompetensi menciptakan inovasi, tanpa kompetisi tidak muncul inovasi” tapi lucunya lupa kalau “kalau menjadi cerdas dimonopoli oleh duit dan legitimasi kepintaran manusia dimonopoli sekolah” yang dibuat oleh mereka – gatekeeping. Parahnya lagi sekolah diperuntuhkan untuk pelestarian hegemoni mereka : sekolah buat kerja terus dihabiskan untuk beli barang begitu terus sampai mampus 3, oh sebelum mampus masih ada tuntutan untuk menikah dan punya anak supaya ada keturunan – red: Keabadian minor.

Membuat saya teringat dengan buku Floracrats. Memang, benar kapitalisme memberikan kita teknologi canggih dan meningkatkan kualitas hidup sebagian orang dengan mengorbankan segalanya di dalam naungan neoliberal.

Iklan yang baik, masih ada?

“Iklan yang baik adalah iklan layanan publik dan peringatan bencana”, agak berlebihan memang tapi “iklan itu peduli dengan kita, bukan profit”. Iklan sekarang hadir berdiri tanpa malu di ruang-ruang publik memaksa atensi kita untuk tersorot kepadanya seolah menjadi norma, seolah bersaing dengan oksigen di sana.

Bebeda dengan zaman era buku yellow pages, dimana iklan dicari untuk keperluan kita seperti memanggil tukang ledeng, tukang urut dan pipa bangunan. Iklan tidak melemparkan dirinya ke ruang seenaknya, ia ditaru ditempat yang semestinya, rubrik iklan. Dengan ruang iklan yang terbatas, sebisa mungkin menyampai informasi seperlunya.

Selain itu, kita juga perlu kritis terhadap pesan-pesan yang ada dalam iklan. Dulu saya benci iklan di televisi karena sebagian besar politik dan produk dagangan, alasan pertama untuk pengaruh politik dan kedua mengenalkan iklan, yang dua-duanya semata untuk ke untungan komersil.

Tidak usah bawa-bawa pemupukan citra iklan rokok untuk menjual rokok dengan konstruksi imaji mereka yang salah target ke anak-anak. Iklan Kumon yang isinya anak mengejar layangan dan bermain di lapang hijau dalam suasana pinggiran kota, menjadi pesan subliminal untuk memasukan anak ke program bimbelnya.

Iklan di internet ataupun apilkasi smartphone pun tidak kalah menjengkelkan, bahkan meresahkan hingga menakut dengan iklan yang begitu personal seolah bisa membaca pikiran saya – red: Surveillance Capitalism. Iklan yang satu ini selain mencuri perhatian, ia juga menyerang personalia seseorang untuk dibentuk model personal iklan yang akan dilihatnya.

Sepertinya sudah terlalu bergeser dari definisi “Iklan yang baik”, karena memang saya pribadi sulit menemukanya. Beberapa yang saya temui seperti Iklan peringatan COVID-19, Banner jangan membuang sampah di pinggiran sawah, Tulisan dilarang merokok, tulisan beban maksimum 10 orang untuk lift dan spanduk iklan rumah makan padang di depan tokonya – karena kalau lapar tinggal mengkol saja.

Memang agak bodoh kalau saya selalu berharap iklan yang menguntungkan pembacanya ketimbang pengiklannya. Paling tidak, iklan lah yang etis. Saya tidak benci iklan secara buta sampai tujuh turunan. Iklan bisa menjadi media untuk mendukung sesuatu yang kita sukai, seperti saya menaru halaman Iklan yang berisi tautan-tautan yang saya suka dan dipikir berguna untuk dibagikan, “promosikan apa yang kita suka”.

Kembali lagi, iklan merupakan alat propaganda, baik buruknya tergantung isinya – tapi jelas iklan yang buruk ialah yang bersifat memaksa mengondisikan masyarakat untuk tunduk pada budaya konsumerisme kesayangan kapitalis.

Merebut kembali

Sulit dipungkiri ternyata manipulasi perilaku bisa dilakukan begitu halusnya, dan ini membuat saya mengerti kenapa sosial media itu gratis digunakan, karena “Kita adalah komoditasnya”, atensi kita dijual untuk akses ke sosial media.

Melestarikan hasrat jual-beli dengan pengondisian psikologis, memanipulasi orang-orang untuk terus melangengkan hegemoni kapitalisme. Saya tidak punya banyak masalah dengan aktivitas jual beli selagi itu masuk akal, manusiawi dan kalau bisa gratis – oke yang terakhir itu mungkin saja.

“Iklan adalah perampok perhatian”

Tidak suka iklan, tentu bukan sikap yang asing jika kamu merasa tenganggu dengan iklan. Kamu tidak sendirian, ada saya. Kembali ke keresahan saya tentang enshitification, situs-situs dan platform di Internet memasangkan iklan didalamnya. Disini saya mengajak kamu untuk merebut kembali ruang digital dari invasi iklan. Mari kita mulai dari yang dekat dulu.

Melawan teknologi kita juga perlu teknologi 4, ibarat api dilawan dengan api.

Cara di atas cukup untuk mengatasi serangan iklan, paling tidak, sejauh alat ini masih bekerja dan iklan belum telampau canggih mengatasinya.

Jika kamu tidak sengaja melihat iklan atau mendengarnya di ponselmu, kecilkan volume dan balikan layar sampai iklan tersebut selesai. Kurangi memberi data kamu ke pada para raksasa teknologi.

Referensi

Catatan Kaki

  1. Enshitfication, penurunan kualitas platform digital dengan sengaja, America Dialect Society, Enshitification the word of the year. 2023.

  2. Selengkapnya, https://suebehaviouraldesign.com/nudging/. 

  3. Sebuah komentar menarik yang saya temukan, https://lsfdiscourse.org/sneakerhead-kebutuhan-yang-melampaui-keperluan/#comment-1388

  4. Mengamankan jaringan internet rumah, https://rizaldy.club/mengamankan-jaringan-internet-di-rumah

Kamu menikmati tulisan ini ?

Biar dikasih tau ada tulisan baru, boleh pantengin RSS kami :

https://alogka.nekoweb.org/feed.xml